GALAKMEDIA
Sabtu, 16 Februari 2013
Misteri Medusa
Dalam mitologi Yunani, Medusa (Bahasa Yunani: (Médousa), berarti"penjaga" atau "pelindung") adalah seorang wanita cantik dengan ular sebagai rambutnya. Siapapun yang menatap langsung pada matanya akanberubah menjadi batu. Medusa tewas di tangan Perseus, yang kemudian menggunakan kepalanya sebagai senjata sebelum diberikan kepada Athena untuk ditempatkan pada perisai Aigis
Dalam mitologi
Tiga Gorgon (Medusa, Stheno dan Euriale) adalah anak dari dewa laut kuno Forkis dan adiknya Keto. Stheno dan Euriale diceritakan sebagai makhluk abadi sedangkan Medusa tidak. Oleh karena itu, Medusa dapat dibunuh oleh Perseus.
Medusa pada awalnya adalah seorang perawan cantik dan merupakan pendeta wanita di kuil milik Athena. Namun suatu ketika ia diperkosa oleh Poseidon di dalam kuil Athena. Hal ini membuat Athena marah, ia pun mengubah rambut Medusa menjadi ular dan mengutuk Medusa sehingga siapapun yang melihat matanya, akan menjadi batu.Kematian
Medusa dibunuh oleh Perseus atas perintah Raja Polidektes dari Serifos yang meminta kepala Medusa sebagai hadiah. Dengan bantuan dari Athena dan Hermes, yang memberinya sandal bersayap, Helm gaib, pedang, dan perisai cermin, Perseus berhasil melaksanakan tugasnya. Perseus membunuh Medusa dengan cara melihat bayangan Medusa di cermin agar Medusa tidak mengubahnya jadi batu lalu Perseus memenggal kepala Medusa. Kemudian dua makhluk keluardari tubuh medusa : Pegasus dan Khrisaor.
Selama beberapa waktu, Perseus menggunakan kepala Medusa sebagai senjata. Lalu kemudian kepala itu diserahkan kepada Athena untuk kemudian dipasang pada perisai Aigis
Minggu, 27 Januari 2013
Asal Mula Kanjeng Kyai Plered
Kala itu, kejayaan Majapahit pun mulai berangsur redup. Nun … di Katumenggungan Wilwatikta yang tenang dan damai, di pagi nan cerah itu, sang Tumenggung yang dikaruniai sepasang anak yang mulai beranjak dewasa, yakni Raden Sahid dan Dewi Rasa Wulan memanggil keduanya untuk menghadap. Setelah keduanya menghaturkan sembah bakti, sang Tumenggung pun berkata; “Sahid, sekarang engkau sudah dewasa. Mulai sekarang, engkau harus bersiap-siap untuk menggantikan bila aku sudah tak mampu lagi melaksanakannya.” “Sebelumnya, aku dan ibumu berharap agar engkau segera menikah. Katakanlah, gadis mana yang selama ini telah menjadi tambatan hatimu. Nanti aku yang akan melamarkan untukmu,” imbuhnya. Raden Sahid yang duduk bersila dengan takzim dan kepala menunduk sebagai tanda hormat kepada orang tua, hanya diam membisu. Hatinya benar-benar galau. Betapa tidak, sejatinya, di dalam hati ia menolak untuk segera menikah. Tapi apa daya, jika menolak, ia takut membuat kedua orang tuanya kecewa. Padahal dalam hati yang sangat dalam, beliau menggerutu, belum siap memikirkan tentang arti sebuah mahligai rumah tangga. Di tengah- tengah suasana yang mencekam itu, mendadak terdengar suara Tumenggung Wilwatikta memecah kesunyian; “Mengapa engkau diam Sahid?” “Apakah engkau menolak permintaanku?” Sambungnya cepat. “Ampun … ayahanda,” sahtu Raden Sahid dengan terbata-bata, “tak ada maksud hamba untuk menolaknya.” “Tetapi mengapa engkau diam dan tidak segera menjawab,” potong sang ayah dengan cepat. “Ampun … ayahanda,” jawab Raden sahid dengan santun, “sampai saat ini, hamba masih menimbang-nimbang, wanita mana yang tepat untuk menjadi menantu ayahanda.” Tumenggung Wilwatikta pun menarik napas lega, “Baiklah kalau begitu. Pertimbangkan dengan masak-masak, dan hati-hati dalam menentukan jodohmu.” Karena dianggap cukup, maka, Raden Sahid pun diperkenankan untuk undur diri. Dan kepada Dewi Rasa Wulan, sang ayah hanya berpesan agar dirinya bersiap-siap untuk menerima pinangan dari pemuda yang sudah ditetapkan kedua orang tuanya. Tanpa berani membantah, Rasa Wulan pun hanya diam … lalu, ia pun undur diri dari hadapan ayahandanya. Tidak seperti biasanya, keceriaan yang biasa diperlihatkan keduanya di kadipaten mendadak hilang. Hingga malam menjelang, Raden Sahid masih disungkupi kegelisahan. Bahkan, matanya pun tak bisa dipejamkan walau malam terus merangkak. Hatinya teramat sedih … “Untuk menghindar dari paksaan ayah, kiranya aku harus pergi dari sini,” demikian bisik hatinya. Dan benar, seiring dengan malam yang terus merangkak dan seisi katumenggungan sedang terbuai dalam mimpi indahnya masing- masing, diam-diam Raden Sahid pun ke luar dari kamarnya dan pergi …. Paginya, tatkala Dewi Rasa Wulan mengetahui bahwa kakaknya tak ada di kamarnya, sontak, hatinya pun khawatir. Dengan harap-harap cemas ia pun mencari sang kakak di berbagai penjuru katumenggungan. Tapi apa daya, sang kakak seolah lenyap bak ditelan bumi. Dewi Rasa Wulan pun yakin, sang kakak telah pergi meninggalkan katumenggungan tanpa meminta izin pada kedua orang tuanya. “Mengapa Kangmas Sahid tidak mengajakku,” bisik hati Rasa Wulan, “padahal aku juga bermaksud pergi agar terhindar dari paksaan ayah.” Dengan langkah gontai, Dewi Rasa Wulan pun masuk ke kamarnya untuk menyiapkan pakaian dan langsung menyusul kakaknya. Waktu terus berlalu. Malamnya, barulah seisi katumenggungan heboh. Mereka baru sadar jika Raden Sahid dan Rasa Wulan telah pergi tanpa sepengetahuan orang tuanya. Mendengar laporan bahwa kedua anaknya pergi, Tumenggung Wilatikta pun terkejut. Dengan cepat ia memerintahkan seluruh telik sandi katumenggungan untuk menelisik keberadaan kedua anaknya itu. Tapi apa daya, keduanya seolah lenyap ditelan bumi. Hari bergangti minggu dan minggu berganti bulan bahkan bulan bergantiu tahun, tapi, keberadaan keduanya tetap saja tidak terendus. Berbilang waktu, dalam pengembaraannya, Raden Sahid mengalami pahit dan getirnya penderitaan serta menghadapi berbagai macam cobaan hingga di kemudian hari ia dikenal sebagai sosok waliyullah yang sangat masyhur, Khanjeng Sunan Kalijaga — lewat bimbingan seorang Waliyulloh A’dzom Sunan Bonang, yang diteruskan kepada Sunan Gunung Jati, sampai pada akhirnya mendapat derajat kewalian secara sempurna lewat talqin Nabiyulloh Hidir AS, hingga akhirnya beliau diambil mantu dan dijadikan tangan kanan paling setia oleh Sunan Gunung Jati Cirebon. Tak jauh berbeda dengan sang kakak, di dalam pengembaraannya, setelah berbilang tahun tidak juga berhasil menemukan Raden Sahid, akhirnya, Dewi Rasa Wulan pun bertapa ngidang (bertapa seperti kijang, hidup bersama-sama kawanan kijang dan mengerjakan apa yang dikerjakan oleh kijang, termasuk memakan makanan yang biasa dimakan oleh kijang-Jw) di tengah hutan Glagahwangi (perbatasan Pasundan, Jawa Barat). Di dalam hutan nan lebat dan angker itu terdapat sebuah danau bernama Sendhang Beji, yang ditepiannya tumbuh dengan subur sebatang pohon besar yang batangnya menjorok dan menaungi permukaannya. Dan tak ada yang menyangka jika pada salah satu cabangnya yang menjorok ke atas permukaan Sendhang Beji itu terdapat seseorang yang sedang bertapa ngalong (bertapa seperti kalong, bergantungan pada cabang pohon-Jw). Ya … sosok linuwih itu tak lain adalah Syekh Maulana Mahgribi. Waktu terus berlalu. Dan pada suatu nan terik, Rasa Wulan pun mendatangi Sendhang Beji. Ia berniat ingin mandi, untuk menyegarkan badannya. Ia sama sekali tak tahu jika di atas permukaan air sendhang itu ada seorang laki-laki yang sedang bertapa — dan tanpa malu-malu Rasa Wulan pun membuka seluruh pakaian penutup tubuhnya. Dalam keadaan tanpa sehelai benang pun, dengan perlahan-lahan ia berjalan menghampiri danau dan mandi di Sendhang Beji. Kesejukan air danau membuat tubuhnya jadi terasa sangat nyaman. Sementara itu, Syekh Maulana Mahgribi yang sedang bertapa tepat di atas danau memandang kemolekan tubuh Rasa Wulan dengan penuh pesona. Melihat kecantikan dan kesintalan tubuhnya, sontak, birahi Syekh Maulana Mahgribi pun bangkit hingga meneteskan bibit hidup (sperma-Jw) dan jatuh tepat diatas tempat Rasa Wulan mandi. Karena peristiwa itu, maka, Rasa Wulan pun hamil. Akhirnya, Rasa Wulan pun tahu jika laki-laki yang bergantungan pada cabang pohon di atas danau itulah yang menyebabkan kehamilannya. “Mengapa engkau tega berbuat demikian?” Protes Rasa Wulan sambil menunjuk sengit ke arah Syekh Maulana Mahgribi. “Mengapa engkau menghamiliki?” Syekh Maulana Mahgribi hanya diam. Ia seakan tidak mendengar apa-apa. “Karena telah berbuat, maka, engkau harus bertanggung jawab!” Sergah Rasa Wulan semakin sengit. “Mengapa engkau menuduhku?” Tanya Syekh Maulana Mahgribi dengan sabar. “Lihat! Aku hamil,” sahut Rasa Wulan. “Engkau yakin jika aku yang menghamilimu?” Tanya Syekh Maulana Mahgribi meminta ketegasan. “Ya. Aku yakin!” Sahut Rasa Wulan tegas. “Karena di tempat ini tidak ada laki-laki lain, maka, engkaulah yang kutuduh menghamiliku,” imbuhnya dengan berapi-api. Untuk menghindarkan diri dari tuduhan itu, Syekh Maulana Mahgribi pun langsung mencabut kemaluannya — kemudian menyingkapkan sarungnya dan menunjukkan kepada Rasa Wulan bahwa ia tidak memiliki kemaluan. Syekh Maulana Mahgribi pun berujar, “Lihat, aku bukan laki-laki. Jadi mana mungkin aku menghamilimu.” “Bagaimana pun juga aku tetap menuduhmu yang menghamiliku” kata Rasa Wulan, “karena itu, engkau harus bertanggung jawab terhadap kehidupan bayi yang tengah kukandung ini.” “Aku yang harus bertanggung jawab?” Tanya Syekh Maulana Mahgribi. “Ya. Engkau yang harus bertanggung jawab,” sahut Rasa Wulan, “mengasuh dan memeliharanya kelak setelah lahir.” Syekh Maulana Mahgribi tidak dapat mengelak. Dan pada waktunya, setelah anak yang dikandung oleh Rasa Wulan itu lahir, maka, si jabang bayi pun yang diberi nama Kidang Telangkas pun diserahkan kepada Syekh Maulana Mahgribi. Kelak dikemudian hari, secara turun temurun, keturunan Kidang Telangkas menjadi raja di tanah Jawa. Kembali ke perdebatan sengit antara Dewi Rasa Wulan dengan Syekh Maulana Maghribi, saat itu, ternyata kemaluannya yang dicabut berubah wujud menjadi sebilah mata tombak — yang akhirnya menjadi “sipat kandel” (senjata andalan) dari raja- raja Jawa. Dan tombak itu dinamakan Khanjeng Kyai Plered. Saat ini Khanjeng Kyai Plered itu merupakan salah satu dari senjata pusaka Keraton Yogyakarta. Namun dalam perdebatan lain, tombak Khanjeng Plered, yang asli telah raib dan dimiliki oleh seorang Waliyulloh Kamil, yang turun temurun selalu dijaga dan dirawat secara baik, sebab hal semacam ini sudah menjadi ilmu Waris bagi ahli generasi sesama Waliyulloh “Di mana hak yang terlahir dari seorang waliyulloh, maka, akan kembali kepada hak sederajat lainnya” Juga seperti maqolahnya Rosululloh SAW: “Sesungguhnya hak warisku akan terpenuhi oleh keturunanku kelak, dan tiada kuberikan pengganti kecuali yang memahamiku, maka sambutlah pemberianku hingga kamu menggantikanku” “Setiap yang aku miliki (sisa peninggalan hidup) adalah bagian wujud kasar yang tiada berarti dan hakikat sebenarnya adalah kembali ke yang punya, maka peliharalah apa yang menjadi izin langsungku hingga kau menikmati dengan apa yang sesungguhnya kau pahami ”
Majalahmisteri.net
Golok Pusaka Langlangbuana
Warga Jawa Barat, masyarakat
Pasundan khususnya, selama ini
mungkin banyak mendengar cerita
tentang adanya harimau gaib yang
diyakini sebagai wujud penjelmaan
dari Prabu Siliwangi. Harimau gaib ini
digambarkan sebagai hewan
berbulu loreng, atau ada juga yang
mengatakan berbulu putih dan
disebut sebagai Lodaya.
Disamping harimau loreng dan
Lodaya, yang diyakini sebagai
jelmaan Prabu Siliwangi dan para
pengikut setianya, sesungguhnya
masih ada jenis harimau gaib
lainnya, yakni harimau yang berbulu
hitam pekat. Nah, jenis harimau
hitam inilah yang mungkin masih
kurang diketahui seperti apa asal-
usulnya.
Meski terkesan musykil, namun bagi
masyarakat Jawa Barat, khususnya
yang tinggal di daerah pinggiran,
masih meyakini kalau kesemua jenis
harimau gaib tersebut hingga kini
masih ada dan kerap menampakkan
wujudnya di tempat-tempat
tertentu. Fenomena itu utamanya
kerap terjadi di sekitar Leuweung
Sancang, Garut Selatan. Menurut
cerita, di Leuweung Sancang inilah
Prabu Siliwangi bersama para
pengikut setianya memutuskan jalan
gaib dengan cara ngahyang atau
moksa.
Lantas, bagaimana asal-usul harimau
hitam dari Pajajaran itu?
Menurut informasi yang Misteri
terima, sosok harimau hitam yang
kini dijadikan lambang kesatuan
kepolisian daerah di Jawa Barat ini
tidak lain mulanya berasal dari salah
seorang tokoh pengabdi setia di
Pajajaran.
Saat Prabu Siliwangi berkuasa, sang
tokoh mendapat kepercayaan
jabatan sebagai pejabat tinggi
keamanan, atau setara dengan
Panglima Polri pada saat sekarang.
Dialah petinggi polisi pertama yang
sempat diangkat dilingkungan
Kerajaan Pajajaran. Tokoh dimaksud
tak lain adalah yang namanya
populer dengan sebutan Eyang
Langlangbuana. Dia pertama kali
ditunjuk sebagai pengabdi polisi di
lingkungan kerajaan pada 1515, dan
bersamanya sempat pula ditunjuk
dua orang ajudannya, yaitu yang
bernama Eyang Jagariksa dan Eyang
Jagapirusa.
Disebutkan, ketiga tokoh inilah yang
bertanggungjawab terhadap
keamanan di lingkungan dalam
kerajaan. Mereka juga memiliki pos
pusat di Pakuan, juga sejumlah pos-
pos jaga di kawasan Sukadana,
Cibitu dan Cianjur.
Eyang Langlangbuana, atau yang
dikenal pula sebagai Eyang
Jagaraksa atau Jagasatru, menurut
sejarah, sebenarnya bukanlah orang
Pajajaran asli. Dia adalah
pengembara yang berasal dari
Kerajaan Bugis, Makasar. Kemudian
dia menikah dengan wanita di
Pajajaran.
Sebelum singgah di Pajajaran, Eyang
Langlangbuana sempat pula
mengembara ke belahan bumi lain.
Seperti ke Tanah Arab yang lamanya
77 tahun, dan terakhir ke Tanah
Jawa, atau dalam hal ini adalah
Pajajaran.
Seperti diceritakan, Prabu Siliwangi
dan segenap pengikut setianya
akhirnya sepakat memilih jalan gaib
untuk mati secara moksa.
Sementara. saat mendapati tekanan
berat dari pihak musuh, Eyang
Langlangbuana memilih jalan
akhirnya sendiri, yaitu meninggal
secara wajar.
Menurut sebuah sumber, makam
Eyang Langlangbuana berada di
kawasan Cibule, di kaki Gunung
Pangrango, Cianjur.
Sudah barang tentu, Eyang
Langlangbuana termasuk leluhur
yang memiliki jasa besar bagi
Pajajaran. Makamnya kini sangat
dikeramatkan. “Namun, untuk
dapat mencapainya, boleh dikata
tidaklah gampang. Sebab, disamping
lokasinya yang berada di kedalaman
hutan yang rimbun, juga untuk tiba
di sana kita pun harus siap berjalan
jongkok dan merayap, dikarenakan
makam itu terkurung oleh pohon-
pohon yang besar,” tegas sumber
Misteri yang enggan disebutkan
namanya.
Sementara, berkaitan dengan cerita
keleluhuran Eyang Langlangbuana
yang nama besarnya kini diabadikan
sebagai simbol kesatuan kepolisian
Jawa Barat, terungkap sebuah
informasi kalau ternyata senjata
pusakanya adalah sebilah golok
yang panjangnya sekitar satu meter.
Pusaka ini sekarang berada di
tangan seorang kolektor di
Bandung.
Karena bahannya yang bukan
sembarangan, pusaka Eyang
Langlangbuana tersebut diyakini
menyimpan tuah tertentu. Menurut
sang pemilik, banyak kalangan yang
berhasrat untuk dapat memilikinya.
“Golok ini berkhodam seekor
harimau gaib berbulu hitam, jelmaan
dari Eyang Langlangbuana. Golok ini
merupakan perangkat beladiri yang
sangat ringan untuk dimainkan.
Sehingga, banyaknya pihak yang
berminat,” kata sang pemilik yang
juga enggan disebut identitasnya.
Menurut pengakuannya, golok yang
bergagang berupa ukiran kepala
harimau hitam itu adalah benar-
benar asli. Benda tersebut
merupakan warisan dari para
leluhurnya yang sempat mendalami
dan menyusuri sejarah Pajajaran.
?
majalah-misteri-net
Langganan:
Postingan (Atom)